Salah satu tujuan diberikannya matematika di jenjang pendidikan
dasar dan menengah, yaitu untuk “Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan
matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari …” (Depdikbud
1994:1). Selain itu juga diharapkan agar
siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis,
kritis, sistematis, dan objektif). Dikatakan pula oleh Gagne (Ruseffendi, 1988:
165), bahwa objek tidak langsung dari mempelajari matematika adalah agar siswa
memiliki kemampuan memecahkan masalah. Dari pendapat Gagne dan tujuan Kurikulum
Matematika, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat memecahkan suatu
masalah, para siswa perlu memiliki kemampuan bernalar yang dapat diperoleh
melalui pembelajaran matematika.
Kemampuan bernalar tak terpisahkan dari kemampuan berpikir
kritis. Dengan kata lain kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari
penalaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Krulik dan Rudnick (1995: 2), bahwa
penalaran mencakup berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical
thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Kemampuan berpikir kritis
seseorang dalam suatu bidang studi tidak dapat terlepas dari pemahamannya
terhadap materi bidang studi tersebut. Menurut Meyers (1986) seseorang tak
mungkin dapat berpikir kritis dalam suatu bidang studi tertentu tanpa
pengetahuan mengenai isi dan teori bidang studi tersebut. Dengan demikian agar
siswa dapat berpikir kritis dalam matematika, maka dia harus memahami
matematika dengan baik.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa matematika bersifat
aksiomatik, abstrak, formal, dan deduktif. Karenanya wajar jika matematika
termasuk mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa pada umumnya yang tahap
berpikirnya belum formal dengan bakat serta kemampuannya yang bervariasi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas hasil belajar siswa SMP dalam
mata pelajaran matematika masih rendah termasuk dalam kemampuan berpikir
kritisnya, sehingga masih perlu ditingkatkan. Masih rendahnya kemampuan
penalaran siswa SMP, khususnya di kota Bandung ditunjukkan oleh hasil
penelitian Priatna (2003) yang menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran siswa
SLTP Negeri di kota Bandung hanya sekitar 49% dari skor ideal.
Masih rendahnya kualitas hasil pembelajaran siswa dalam
matematika merupakan indikasi bahwa tujuan yang ditentukan dalam kurikulum
matematika belum tercapai secara optimal. Agar tujuan tersebut dapat tercapai
sesuai dengan yang diinginkan, salah satu caranya adalah dengan melaksanakan
proses pembelajaran yang berkualitas.
Kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan pendekatan yang
digunakan. Pendekatan yang digunakan oleh para guru pada umumnya di lapangan,
merupakan pendekatan yang berpusat pada guru. Guru masih menyampaikan materi
pelajaran matematika dengan pendekatan tradisional yang menekankan pada latihan
pengerjaan soal-soal atau drill and practice, prosedural, serta penggunaan
rumus. Pada pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau sumber materi
guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima materi. Hal
ini merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa terhadap
matematika (Zulkardi,2001; IMSTEP-JICA, 1999). Siswa menyelesaikan banyak soal
tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya kemampuan penalaran (berpikir kritis)
dan kompetensi strategis siswa tidak berkembang.
Pembelajaran matematika dengan
pendekatan kotekstual atau realistik memberikan peluang pada siswa untuk aktif
mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah yang
dimulai dari masalahmasalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, siswa diberi
kebebasan menemukan strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan guru membimbing
siswa menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui matematisasi
horisontal dan vertikal.
Ada istilah kontekstual dan juga ada istilah realistik. Pada pembelajaran matematika
istilah kontekstual dikenal sebagai pendekatan Contextual Teaching
and Learning atau yang lebih dikenal dengan pendekatan CTL dan realistik
dikenal sebagai pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dan di
Indonesia dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI).
1. Landasan Filosofi
CTL
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu
filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal.
Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Bahwa pengetahuan
tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah,
tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan (Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama, 2003: 26).
Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan
pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga
pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan tertanam dalam benak sesuai
dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari
individu siswa yang telah bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang
(Ernest dalam Hudoyo, 1998: 4-5).
2. Definisi CTL
CTL merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan
untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari
dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari (Johnson, 2002: 24).
3. Komponen CTL
·
Melakukan hubungan yang bermakna (making
meaningful conections), adalah membuat hubungan antara subyek dengan
pengalaman yang bermakna dan makna ini akan memberi alasan apa yang
dipelajari. Menghubungkan antara pembelajaran dengan kehidupan nyata
siswa sehingga hasilnya akan bermakna (berarti). Ini akan membuat siswa
merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya (Johnson, 2002:
43-44).
·
Melakukan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang
signifikan (doing significant work), adalah dapat melakukan pekerjaan
atau tugas yang sesuai.
·
Belajar yang diatur sendiri (self regulated
learning), adalah membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri
ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan
antara materi ajar dan konteks kehidupan sehari-hari (Johnson, 2002: 82-84).
·
Bekerja sama (collaborating), adalah proses
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk
mengerti bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan dampak
apa yang ditimbulkannya.
·
Berpikir kritis dan kreatif (critical and
creative thinking), siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan
kreatifnya dalam pengumpulan, analisis dan sintesis data, memahami suatu isu
atau fakta dan pemecahan masalah (Johnson, 2002: 100-101).
·
Memelihara atau membina pribadi (nurturing the
individual), adalah menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini
menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyemangati, dan memunculkan
gairah belajar siswa. Guru harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar
siswa dalam lingkungan sekolah. Guru diharap mampu memberi pengaruh baik
terhadap lingkungan belajar siswa. Antara guru dan orang tua mempunyai peran
yang sama dalam mempengaruhi kemampuan siswa. Pencapaian perkembangan siswa tergantung
pada lingkungan sekolah juga pada kepedulian perhatian yang diterima siswa
terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan ini penting dan memberi
makna pada pengalaman siswa nantinya didalam kelompok dan dunia kerja (Johnson,
2002: 127-128).
·
Mencapai standar yang tinggi (reaching high
standards), adalah menyiapkan siswa mandiri, produktif dan cepat merespon
atau mengikuti perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi
orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan yang bijaksana dan karyawan
yang memuaskan (Johnson, 2002: 149-150).
·
Penilaian yang sesungguhnya (authentic
assesment), ditujukan pada motivasi siswa untuk menjadi unggul di era
teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan
keterampilan tangan, penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi
yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan
penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari
pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan (Johnson, 2002:
165).
0 Comments